Sabtu, 13 Juli 2013

Pesantren dan Kitab Kuning

Oleh: Dr. KH. Affandi Mochtar, MA
Pada umumnya, pesantren dipandang sebagai sebuah subkultur yang mengembangkan pola kehidupan yang unik menurut ‘kaca mata’ umum, modern. Di samping faktor kepemimpinan Kyai, Kitab Kuning adalah faktor penting yang menjadi karakteristik sub kultur tersebut. Selain sebagai pedoman tata cara keberagamaan.
Kitab Kuning difungsikan juga oleh kalangan pesantren sebagai referensi nilai universal dalam mensikapi segala tantangan kehidupan. Ketika Kitab Kuning digunakan secara permanen, dari generasi ke generasi, sebagai sumber bacaan utama bagi masyarakat pesantren yang cukup luas, maka sebuah proses pembentukan dan pemeliharaan tradisi yang unik itu tengah berlangsung.

Yang menarik untuk diamati adalah mengapa harus Kitab Kuning yang dijadikan referensi turun temurun itu? Dan bagaimanakah pesantren memperlakukan Kitab Kuning dalam tradisi pendidikannya? Pengamatan mengenai hal ini mungkin akan mendorong kita menjawab sebuah pertanyaan fundamental: bukankah semestinya Al Qur’an dan Al Hadits yang menjadi referensi mereka?
Dari kalangan pesantren sendiri sejauh ini, sebetulnya belum ada pertanggung jawaban filosofis (argumentatif) yang utuh, dalam pengertian modern, mengenai penempatan Kitab Kuning sebagai referensi nilai-nilai universal mereka. Belakangan memang ada usaha-usaha penjelasan dari mereka, misalnya dari Abdurrahman Wahid, Ali Yafie, Masdar F. Mas’udi, Sahal Mahfudz, Tolhah Hasan, Chozin Chumaedi dan A Malik Madani lewat berbagai tulisan mereka. Namun, penjelasan mengandung unsur kritis dan evaluatif, jadi keberadaan mereka lebih dianggap mewakili penjelasan kalangan pesantren pembaharu. Terlepas dari anggapan ini, nampaknya memang masih perlu dilakukan kajian yang lebih serius untuk memahami paradigma sebenarnya yang ada di balik pemeliharaan dan pengajaran Kitab Kuning yang permanen itu.
Alasan pemilihan Kitab Kuning mungkin bisa dirumuskan, antara lain, dengan mempertimbangkan perkembangan tradisi intelektual Islam Nusantara yang pernah kita bahas. Sejak periode paling dini, bersamaan dengan proses internasionalisasi – yang berarti Arabisasi – dokumentasi mengenai ajaran-ajaran Islam selalu dilakukan dalam bahasa Arab, paling tidak dengan menggunakan huruf Arab. Arabisasi seperti itu tidak lain menempatkan ‘keislaman’ di Indonesia selalu dalam konteks universal.
Proses seperti ini terus berlanjut – sejalan dengan semakin kuatnya intervensi bahasa Arab ke dalam bahasa-bahasa di Nusantara – , dan pesantren tampaknya hanya melanjutkan proses ini saja. Hal ini mencapai momentumnya ketika pesantren dalam tekanan kekuatan asing, dan ia melakukan gerakan defensif non-kooperatif. Pemasok utama nilai dan pengetahuan yang dapat dipercaya dalam situasi seperti itu adalah Kitab Kuning yang sudah beredar sangat luas di lingkungan mereka. Kalaupun ada pasokan baru – dan ini sangat banyak ketika alumni Timur Tengah kembali ke Indonesia – prosesnya tetap harus mempertimbangkan standar Kitab Kuning yang sudah menyebar itu, kecuali setelah terbukanya kembali hubungan pesantren dengan ‘dunia umum’, sejak kira-kira tiga dasawarsa yang lalu.
Mas’udi mencoba melihat masalah ini dari sudut lain, yang lebih inherent dalam kehidupan pesantren, yaitu berkaitan dengan pandangan kalangan pesantren mengenai ‘ilmu’. Bagi masyarakat pesantren, ilmu adalah sesuatu yang bisa diperoleh melalui jalan pengalihan, pemwarisan, transmisi, bukan sesuatu yang bisa diciptakan, created. Dalam salah satu Kitab Kuning yang menjadi pedoman belajar kalangan pesantren, Ta’lim al Muta’allim Tariq al-Ta’allum, diajarkan bahwa “Ilmu adalah sesuatu yang kamu ambil dari lisan rijal (guru/kyai), karena mereka itu telah menghafal bagian yang paling baik dari yang mereka dengar dan menyampaikan bagian yang paling baik dari yang pernah mereka hafal.”
Di kalangan pesantren memang diakui ‘cara lain’ untuk memperoleh ilmu – jadi tidak hanya dengan cara transmisi seperti itu. Namun demikian, ‘cara lain’ yang dimaksud bukanlah cara yang lebih rasional (nalar) melainkan cara yang bersifat gaib dalam proses hubungan langsung manusia dengan Yang Maha Berilmu, identik dengan proses pewahyuan. Kalangan pesantren menyebutnya sebagai ilmu ladunni.
Bagi masyarakat pesantren, dengan demikian, ilmu dipandang sebagai sesuatu yang suci, sacred. Tidak boleh spekulatif, akal-akalan. Puncak dari pandangan ini, ilmu dianggap wahyu tersendiri, atau, paling tidak, ia hadir sebagai penjelas wahyu. Seperti halnya wahyu yang hanya bisa ‘dimonopoli’ oleh Nabi, ilmu juga diyakini hanya bisa dikuasai oleh ilmuwan, ulama. Pandangan mereka seperti itu nampaknya dipengaruhi oleh pemahaman mereka terhadap hadits, “al ulama warasat al anbiya”. D
engan pandangan keilmuan yang demikian ketat, tidak dinamis, maka pengajaran dan pendidikan yang berlangsung selalu merupakan pengulangan sebatas ‘kata-kata’ ulama. Ada dua konsekuensi yang saling terkait karena hal ini:
Pertama, keseragaman akan dengan mudah menjadi ciri yang sangat mencolok. Kalau saja terjadi perbedaan, maka perbedaan itu hampir bisa dipastikan hanya dalam pengungkapannya saja. Kedua, kitab sebagai karya ulama (terdahulu) yang memberikan keterangan langsung terhadap kata-kata wahyu adalah sentral, sedangkan Kyai yang memberikan keterangan atas kitab itu adalah subordinat, atau sekadar alat untuknya (tidak berhak mengevaluasinya).
Dalam jangkauan sejarah yang lebih luas, pendapat van Bruinessen, yang selaras dengan pandangan Mas’udi di atas, tampaknya cukup penting untuk dicatat. Menurutnya Kitab Kuning yang berkembang di Indonesia pada dasarnya merupakan hasil pemikiran ulama abad pertengahan, mulai abad ke-10 M hingga abad ke-15 M. Tradisi keilmuan yang berkembang pada masa-masa itu bertolak dari pandangan keilmuan yang sangat ketat; ‘dalam tradisi [intelektual] abad pertengahan, semua ilmu pada dasarnya sudah merupakan sistem pengetahuan yang pasti”. Gagasan untuk menyempurnakan siste ilmu pengetahuan dianggap sesuatu yang menyimpang dan mengaburkan. Van Bruinessen kemudian merujuk pandangan Aziz al-Azmih yang meneliti dasar-dasar metafisika pemikiran Arab. Ia akhirnya menyimpulkan:
“Jadi, karya mengenai topik apapun hadir dalam tujuh bentuk: kompilasi yang tidak komplit, koreksi atas kesalahan-kesalahan teks, penjelas terhadap masalah yang samar, peringkasan dari teks panjang, pengumpulan teks yang terpisah-pisah, perapihan susunan bahan yang kurang teratur, dan pengambilan/pencuplikan kesimpulan.”
Beberapa alasan di atas nampaknya cukup untuk sekadar memahami penempatan Kitab Kuning yang begitu penting di dalam sistem keilmuan pesantren. Namun, bagi sebagian kalangan pesantren sendiri, alasan-alasan seperti itu mungkin akan dianggap kurang idealis. Mungkin juga terkesan bahwa Kitab Kuning dalam konteks perlembangan pemikiran keislaman di Indonesia sejauh alasan-alasan di atas bernilai statis. Bukankah dalam kenyataannya Nusantara/Indonesia adalah wilayah ‘pinggiran’ dalam peta peradaban Islam, sehingga kehadiran dan perkembangan Kitab Kuning itu sendiri dapat diartikan sebagai faktor dinamis? Paling tidak dalam proses pengayaan pengetahuan ajaran-ajaran Islam, tidakkah Kitab Kuning di pesantren menjadi sangat signifikan? Dalam kaitan ini, Ali Yafie memberikan pandangannya:
“ Peran kitab tersebut (Kitab Kuning) sebagai salah satu unsur mutlak dari pengajaran/pendidikan pesantren adalah sedemikian pentingnya dalam proses terbentuknya kecerdasan intelektualitas dan moralitas kesalehan (kualitas keberagamaan) pada diri peserta didik (thalib/santri).
Dengan beberapa catatan, Abdurrahman Wahid mempertimbangkan segi dinamis perkembangan Kitab Kuning di pesantren. Menurutnya, Kitab Kuning merupakan faktor penting dalam pembentukan tradisi keilmuan yang fiqh-sufistik yang didukung penguasaan ilmu-ilmu instrumental, termasuk ilmu-ilmu adabnya (humanistik) Tanpa Kitab Kuning, dalam pengertian yang lebih kompleks, tradisi intelektual di Indonesia agaknya tidak akan bisa keluar dari kemelut sufi ekstrim dan fiqh ekstrim. Apa yang dicapai oleh Kyai Ihsan Jampes melalui karya-karyanya, Siraj al Thalibin dan Manahij al Imdad, yang masing-masing merupakan komentar atas Minhaj al Abidin dan Iryad al Ibad, merupakan contoh prestasi intelektual yang mengandalkan Kitab Kuning. “Dalam Manahij al Imdad ini, sekali lagi, terbukti kemampuan ulama di pesantren untuk mengkombinasikan antara kemampuan mendalami ilmu-ilmu agama secara tuntas, di samping mengamalkan tasawwuf secara tuntas pula.” Masalahnya mungkin adalah pesantren dituntut untuk melakukan kreasi baru dan mentransformasikan Kitab Kuning sejalan dengan kecenderungan intelektual modern.
Dengan demikian, kita melihat ada dua pandangan mengenai posisi dan signifikansi Kitab Kuning di pesantren. Pertama, dan mungkin yang paling kuat, kebenaran Kitab Kuning bagi kalangan pesantren adalah referensi yang kandungannya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Kenyataan bahwa Kitab Kuning ditulis sejak lama dan terus dipakai dari masa ke masa menunjukkan bahwa Kitab Kuning sudah teruji kebenarannya dalam sejarah yang panjang. Kitab Kuning dipandang sebagai pemasok teori dan ajaran yang sudah sedemikian rupa dirumuskan oleh ulama-ulama dengan bersandar pada Al Qur’an dan al Hadits.
Menjadikan Kitab Kuning sebagai referensi tidak berarti mengabaikan kedua sumber itu – tetapi pada hakekatnya justru mengamalkan ajaran keduanya. Kepercayaan bahwa kedua Kitab itu merupakan wahyu Allah menimbulkan kesan bahwa al Qur’an dan al Hadits tidak boleh diperlakukan dan dipahami sembarangan. Cara yang paling aman untuk memahami kedua sumber itu – agar tidak terjerumus dalam kesalahan dan kekeliruan yang dibuatnya sendiri – adalah dengan mempelajari dan mengikuti Kitab Kuning. Sebab kandungan Kitab Kuning merupakan penjelasan dan ‘pengejawantahan’ yang siap pakai, dan rumusan ketentuan hukum yang bersumber dari al Quran dan al Hadits, yang dipersiapkan oleh para mujtahid di segala bidang.
Pandangan kedua – yang mulai muncul dalam tiga dasawarsa terakhir – adalah bahwa Kitab Kuning penting bagi pesantren untuk memfasilitasi proses pemahaman keagamaan yang mendalam sehingga mampu merumuskan penjelasan yang segar tetapi tidak ahistoris mengenai ajaran Islam, al Qur’an dan al Hadits. Kitab Kuning mencerminkan pemikiran keagamaan yang lahir dan berkembang sepanjang sejarah peradaban Islam.
Untuk menjadikan pesantren tetap sebagai pusat kajian keislaman, maka pemeliharaan bahkan pengayaan Kitab Kuning harus tetap menjadi ciri utamanya. Termasuk dalam proses pengayaan itu adalah penanganan Kitab Kuning dalam lapangan dan masa yang luas, termasuk yang lahir belakangan, al kutub al ashriyyah. Hanya dengan penguasaan Kitab Kuning seperti itulah, kreasi pemikiran keislaman yang serius di Indonesia tidak akan berhenti.
Sumber : kangaffandi.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar