Pada umumnya, pesantren dipandang
sebagai sebuah subkultur yang mengembangkan pola kehidupan yang unik
menurut ‘kaca mata’ umum, modern. Di samping faktor kepemimpinan Kyai,
Kitab Kuning adalah faktor penting yang menjadi karakteristik sub kultur
tersebut. Selain sebagai pedoman tata cara keberagamaan.
Kitab Kuning difungsikan juga oleh
kalangan pesantren sebagai referensi nilai universal dalam mensikapi
segala tantangan kehidupan. Ketika Kitab Kuning digunakan secara
permanen, dari generasi ke generasi, sebagai sumber bacaan utama bagi
masyarakat pesantren yang cukup luas, maka sebuah proses pembentukan dan
pemeliharaan tradisi yang unik itu tengah berlangsung.
Yang menarik untuk diamati adalah mengapa harus Kitab Kuning yang dijadikan referensi turun temurun itu? Dan bagaimanakah pesantren memperlakukan Kitab Kuning dalam tradisi pendidikannya? Pengamatan mengenai hal ini mungkin akan mendorong kita menjawab sebuah pertanyaan fundamental: bukankah semestinya Al Qur’an dan Al Hadits yang menjadi referensi mereka?
Dari kalangan pesantren sendiri sejauh
ini, sebetulnya belum ada pertanggung jawaban filosofis (argumentatif)
yang utuh, dalam pengertian modern, mengenai penempatan Kitab Kuning
sebagai referensi nilai-nilai universal mereka. Belakangan memang ada
usaha-usaha penjelasan dari mereka, misalnya dari Abdurrahman Wahid, Ali
Yafie, Masdar F. Mas’udi, Sahal Mahfudz, Tolhah Hasan, Chozin Chumaedi
dan A Malik Madani lewat berbagai tulisan mereka. Namun, penjelasan
mengandung unsur kritis dan evaluatif, jadi keberadaan mereka lebih
dianggap mewakili penjelasan kalangan pesantren pembaharu. Terlepas dari
anggapan ini, nampaknya memang masih perlu dilakukan kajian yang lebih
serius untuk memahami paradigma sebenarnya yang ada di balik
pemeliharaan dan pengajaran Kitab Kuning yang permanen itu.
Alasan pemilihan Kitab Kuning mungkin
bisa dirumuskan, antara lain, dengan mempertimbangkan perkembangan
tradisi intelektual Islam Nusantara yang pernah kita bahas. Sejak
periode paling dini, bersamaan dengan proses internasionalisasi – yang
berarti Arabisasi – dokumentasi mengenai ajaran-ajaran Islam selalu
dilakukan dalam bahasa Arab, paling tidak dengan menggunakan huruf Arab.
Arabisasi seperti itu tidak lain menempatkan ‘keislaman’ di Indonesia
selalu dalam konteks universal.
Proses seperti ini terus berlanjut –
sejalan dengan semakin kuatnya intervensi bahasa Arab ke dalam
bahasa-bahasa di Nusantara – , dan pesantren tampaknya hanya melanjutkan
proses ini saja. Hal ini mencapai momentumnya ketika pesantren dalam
tekanan kekuatan asing, dan ia melakukan gerakan defensif
non-kooperatif. Pemasok utama nilai dan pengetahuan yang dapat dipercaya
dalam situasi seperti itu adalah Kitab Kuning yang sudah beredar sangat
luas di lingkungan mereka. Kalaupun ada pasokan baru – dan ini sangat
banyak ketika alumni Timur Tengah kembali ke Indonesia – prosesnya tetap
harus mempertimbangkan standar Kitab Kuning yang sudah menyebar itu,
kecuali setelah terbukanya kembali hubungan pesantren dengan ‘dunia
umum’, sejak kira-kira tiga dasawarsa yang lalu.
Mas’udi mencoba melihat masalah ini dari
sudut lain, yang lebih inherent dalam kehidupan pesantren, yaitu
berkaitan dengan pandangan kalangan pesantren mengenai ‘ilmu’. Bagi
masyarakat pesantren, ilmu adalah sesuatu yang bisa diperoleh melalui
jalan pengalihan, pemwarisan, transmisi, bukan sesuatu yang bisa
diciptakan, created. Dalam salah satu Kitab Kuning yang menjadi pedoman
belajar kalangan pesantren, Ta’lim al Muta’allim Tariq al-Ta’allum,
diajarkan bahwa “Ilmu adalah sesuatu yang kamu ambil dari lisan rijal
(guru/kyai), karena mereka itu telah menghafal bagian yang paling baik
dari yang mereka dengar dan menyampaikan bagian yang paling baik dari
yang pernah mereka hafal.”
Di kalangan pesantren memang diakui
‘cara lain’ untuk memperoleh ilmu – jadi tidak hanya dengan cara
transmisi seperti itu. Namun demikian, ‘cara lain’ yang dimaksud
bukanlah cara yang lebih rasional (nalar) melainkan cara yang bersifat
gaib dalam proses hubungan langsung manusia dengan Yang Maha Berilmu,
identik dengan proses pewahyuan. Kalangan pesantren menyebutnya sebagai
ilmu ladunni.
Bagi masyarakat pesantren, dengan
demikian, ilmu dipandang sebagai sesuatu yang suci, sacred. Tidak boleh
spekulatif, akal-akalan. Puncak dari pandangan ini, ilmu dianggap wahyu
tersendiri, atau, paling tidak, ia hadir sebagai penjelas wahyu. Seperti
halnya wahyu yang hanya bisa ‘dimonopoli’ oleh Nabi, ilmu juga diyakini
hanya bisa dikuasai oleh ilmuwan, ulama. Pandangan mereka seperti itu
nampaknya dipengaruhi oleh pemahaman mereka terhadap hadits, “al ulama
warasat al anbiya”. D
engan pandangan keilmuan yang demikian
ketat, tidak dinamis, maka pengajaran dan pendidikan yang berlangsung
selalu merupakan pengulangan sebatas ‘kata-kata’ ulama. Ada dua
konsekuensi yang saling terkait karena hal ini:
Pertama, keseragaman akan
dengan mudah menjadi ciri yang sangat mencolok. Kalau saja terjadi
perbedaan, maka perbedaan itu hampir bisa dipastikan hanya dalam
pengungkapannya saja. Kedua, kitab sebagai karya ulama
(terdahulu) yang memberikan keterangan langsung terhadap kata-kata wahyu
adalah sentral, sedangkan Kyai yang memberikan keterangan atas kitab
itu adalah subordinat, atau sekadar alat untuknya (tidak berhak
mengevaluasinya).
Dalam jangkauan sejarah yang lebih luas,
pendapat van Bruinessen, yang selaras dengan pandangan Mas’udi di atas,
tampaknya cukup penting untuk dicatat. Menurutnya Kitab Kuning yang
berkembang di Indonesia pada dasarnya merupakan hasil pemikiran ulama
abad pertengahan, mulai abad ke-10 M hingga abad ke-15 M. Tradisi
keilmuan yang berkembang pada masa-masa itu bertolak dari pandangan
keilmuan yang sangat ketat; ‘dalam tradisi [intelektual] abad
pertengahan, semua ilmu pada dasarnya sudah merupakan sistem pengetahuan
yang pasti”. Gagasan untuk menyempurnakan siste ilmu pengetahuan
dianggap sesuatu yang menyimpang dan mengaburkan. Van Bruinessen
kemudian merujuk pandangan Aziz al-Azmih yang meneliti dasar-dasar
metafisika pemikiran Arab. Ia akhirnya menyimpulkan:
“Jadi, karya mengenai topik apapun hadir
dalam tujuh bentuk: kompilasi yang tidak komplit, koreksi atas
kesalahan-kesalahan teks, penjelas terhadap masalah yang samar,
peringkasan dari teks panjang, pengumpulan teks yang terpisah-pisah,
perapihan susunan bahan yang kurang teratur, dan pengambilan/pencuplikan
kesimpulan.”
Beberapa alasan di atas nampaknya cukup
untuk sekadar memahami penempatan Kitab Kuning yang begitu penting di
dalam sistem keilmuan pesantren. Namun, bagi sebagian kalangan pesantren
sendiri, alasan-alasan seperti itu mungkin akan dianggap kurang
idealis. Mungkin juga terkesan bahwa Kitab Kuning dalam konteks
perlembangan pemikiran keislaman di Indonesia sejauh alasan-alasan di
atas bernilai statis. Bukankah dalam kenyataannya Nusantara/Indonesia
adalah wilayah ‘pinggiran’ dalam peta peradaban Islam, sehingga
kehadiran dan perkembangan Kitab Kuning itu sendiri dapat diartikan
sebagai faktor dinamis? Paling tidak dalam proses pengayaan pengetahuan
ajaran-ajaran Islam, tidakkah Kitab Kuning di pesantren menjadi sangat
signifikan? Dalam kaitan ini, Ali Yafie memberikan pandangannya:
“ Peran kitab tersebut (Kitab Kuning)
sebagai salah satu unsur mutlak dari pengajaran/pendidikan pesantren
adalah sedemikian pentingnya dalam proses terbentuknya kecerdasan
intelektualitas dan moralitas kesalehan (kualitas keberagamaan) pada
diri peserta didik (thalib/santri).
Dengan beberapa catatan, Abdurrahman
Wahid mempertimbangkan segi dinamis perkembangan Kitab Kuning di
pesantren. Menurutnya, Kitab Kuning merupakan faktor penting dalam
pembentukan tradisi keilmuan yang fiqh-sufistik yang didukung penguasaan
ilmu-ilmu instrumental, termasuk ilmu-ilmu adabnya (humanistik) Tanpa
Kitab Kuning, dalam pengertian yang lebih kompleks, tradisi intelektual
di Indonesia agaknya tidak akan bisa keluar dari kemelut sufi ekstrim
dan fiqh ekstrim. Apa yang dicapai oleh Kyai Ihsan Jampes melalui
karya-karyanya, Siraj al Thalibin dan Manahij al Imdad, yang
masing-masing merupakan komentar atas Minhaj al Abidin dan Iryad al
Ibad, merupakan contoh prestasi intelektual yang mengandalkan Kitab
Kuning. “Dalam Manahij al Imdad ini, sekali lagi, terbukti kemampuan
ulama di pesantren untuk mengkombinasikan antara kemampuan mendalami
ilmu-ilmu agama secara tuntas, di samping mengamalkan tasawwuf secara
tuntas pula.” Masalahnya mungkin adalah pesantren dituntut untuk
melakukan kreasi baru dan mentransformasikan Kitab Kuning sejalan dengan
kecenderungan intelektual modern.
Dengan demikian, kita melihat ada dua
pandangan mengenai posisi dan signifikansi Kitab Kuning di pesantren.
Pertama, dan mungkin yang paling kuat, kebenaran Kitab Kuning bagi
kalangan pesantren adalah referensi yang kandungannya sudah tidak perlu
dipertanyakan lagi. Kenyataan bahwa Kitab Kuning ditulis sejak lama dan
terus dipakai dari masa ke masa menunjukkan bahwa Kitab Kuning sudah
teruji kebenarannya dalam sejarah yang panjang. Kitab Kuning dipandang
sebagai pemasok teori dan ajaran yang sudah sedemikian rupa dirumuskan
oleh ulama-ulama dengan bersandar pada Al Qur’an dan al Hadits.
Menjadikan Kitab Kuning sebagai
referensi tidak berarti mengabaikan kedua sumber itu – tetapi pada
hakekatnya justru mengamalkan ajaran keduanya. Kepercayaan bahwa kedua
Kitab itu merupakan wahyu Allah menimbulkan kesan bahwa al Qur’an dan al
Hadits tidak boleh diperlakukan dan dipahami sembarangan. Cara yang
paling aman untuk memahami kedua sumber itu – agar tidak terjerumus
dalam kesalahan dan kekeliruan yang dibuatnya sendiri – adalah dengan
mempelajari dan mengikuti Kitab Kuning. Sebab kandungan Kitab Kuning
merupakan penjelasan dan ‘pengejawantahan’ yang siap pakai, dan rumusan
ketentuan hukum yang bersumber dari al Quran dan al Hadits, yang
dipersiapkan oleh para mujtahid di segala bidang.
Pandangan kedua – yang mulai muncul
dalam tiga dasawarsa terakhir – adalah bahwa Kitab Kuning penting bagi
pesantren untuk memfasilitasi proses pemahaman keagamaan yang mendalam
sehingga mampu merumuskan penjelasan yang segar tetapi tidak ahistoris
mengenai ajaran Islam, al Qur’an dan al Hadits. Kitab Kuning
mencerminkan pemikiran keagamaan yang lahir dan berkembang sepanjang
sejarah peradaban Islam.
Untuk menjadikan pesantren tetap sebagai
pusat kajian keislaman, maka pemeliharaan bahkan pengayaan Kitab Kuning
harus tetap menjadi ciri utamanya. Termasuk dalam proses pengayaan itu
adalah penanganan Kitab Kuning dalam lapangan dan masa yang luas,
termasuk yang lahir belakangan, al kutub al ashriyyah. Hanya dengan
penguasaan Kitab Kuning seperti itulah, kreasi pemikiran keislaman yang
serius di Indonesia tidak akan berhenti.
Sumber : kangaffandi.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar